Minggu, 24 Agustus 2008

Sekolah VS Bimbel

Sekolah VS Bimbel

Sekolah sebagai institusi pendidikan formal diharapkan dapat mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk manusia Indonesia yang berkualitas. Salah satu upaya untuk mewujudkan itu maka pemerintah pada tahun ajaran 2007/2008 mengeluarakan kebijakan bahwa SD melaksanakan Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasioanl (UASBN) pada mata pelajaran Matematika, Bahasa Indonesia dan IPA, dengan kriteria nilai kelulusan diserahkan kepada sekolah masing-masing. Sontak saja kebijakan ini menimbulkan pro dan kontra, sedangkan bagi sebagian sekolah kebijakan UASBN muncul bagai orang kebakaran jenggot, karena selama ini SD dalam posisi tenang-tenang saja dalam menghadapi kelulusan siswanya. Hal ini disebabkan nilai kelulusan SD masih menggunakan rumus yang menggabungkan nilai raport dengan nilai ujian akhir serta dapat menguntukan anak dari segi nilai walau dalam segi kualitas belum tentu. Akibatnya katrol mengatrol nilai pada kelulusan SD di beberapa tahun ke belakang sangat mungkin terjadi.

Alih-alih meningkatkan kualitas malah yang terjadi sekolah berusaha bagaimana sisiwanya lulus dengan 100% dengan berbagai cara, seakan aib jika ada siswanya yang tidak lulus UASBN. Maka ada beberapa upaya yang dilakukan sekolah mulai dari membuat standar kelulusan yang rendah bagi siswa, walaupun bagai menelan buah simalakama, meluluskan semua siswa dengan kriteria kelulusan rendah akan membawa dampak negatif bahwa sekolah dipandang masyarakat tidak berkualitas, menambah jam efektif mata pelajaran yang diujikan pada UASBN dan mengurangi jam pelajaran yang dianggap tidak penting semisal kesenian dan olahraga, sampai yang umum dilakukan sekolah mengadakan Les tambahan di luar jam pelajaran men drill siswa dengan berbagai bentuk soal sampai sore bahkan ada sekolah yang mengadakan les sampai malam, saking ingin mencapai nilai tertinggi.

Pada satu sisi dengan adanya UASBN memacu semangat guru untuk meningkatkan kulitas keilmuannya, terus belajar dengan hal yang baru, mengimplementasikan metode-metode mengajar yang bervariasi demi meningkatkan kualitas anak didiknya. Pada sisi lain ada guru dan pihak sekolah mengambil jalan pintas dengan berbagai alasan menghadirkan bimbel atau guru bimbel ke sekolah seakan mereka tidak percaya diri atas kemampuan mengajar mereka.

Kekhawatiran sekolah khususnya di tingkat Sekolah Dasar (SD) yang baru akan menyelenggarakan Ujian Akhir sekolah berstandar nasional (UASBN) peluangnya ditangkap dengan cerdas oleh temn-teman di Bimbingan Belajar (Bimbel). Mereka pun serentak menawarkan program promosi yang sangat menarik, dengan berbagai paket pembelajaran dari yang intensif sampai privat satu guru melayani satu siswa yang mungkin tidak didapatkan di sekolah, tentunya dengan biaya yang cukup tinggi, loby-loby ke kepala sekolah sampai ke dinas pendidikan pun mereka lakukan, atau dengan paket kerja sama Try Out soal Ujian memakai soal dari bimbel, karena kelemahan sebagian guru yang memang belum terbiasa membuat soal ujian, yang pada saat ini untuk di tingkat SD di kota Surakarta soal-soal Ulangan Tengah Semester dan Ulangan Semester masih di drop dari Cabang Dinas Kecamatan masing-masing.

Dari segi orangtua yang khawatir dengan ketidaklulusan anaknya pun bimbel mendapat peluang yang terbuka untuk menawarkan jasanya. Lagi-lagi kekuatan promosi dapat merayu orang tua untuk memasukan anaknya ke bimbel, dan orang tua dengan rela membayar mahal demi nilai yang dicapai anaknya, atau mungkin orang tua sudah semakin luntur kepercayaannya pada sekolah, atau memang sekolah yang kurang berkomunikasi mengenai program menghadapi Ujian yang pasti semua sekolah mempersiapkannya.

Dari masalah diatas akhirnya setiap sekolah mengambil kebijakan masing-masing diantaranya ada yang ekstrim sekolah tidak bekerjasama dengan lembaga bimbel, sekolah bekerja sama penuh dengan bimbel dengan menarik guru bimbel ke sekolah pada les tambahan atau sekolah hanya bekerjasama dengan bimbel pada pemeriksaan komputerisasi Try Out saja.

Sinergi

Dalam Undang-Undang No 20 tahun 2003 Tentang SISDIKNAS pasal 26 berbunyi ”Pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan / atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat”. Sejalan dengan bunyi UU diatas maka penulis mengkategorikan Bimbel sebagai pendidikan nonformal yang diselenggarakan masyarakat. Pada hakekatnya sekolah dan bimbel seharusnya seiring sejalan, saling melengkapi dan tidak saling memojokan. Tetapi opini yang muncul di masyarakat seolah-olah guru bimbel lebih mumpuni di banding guru di sekolah, jaminan nilai yang baik jika anak dimasukan pada lembaga Bimbel. Hal di atas seyogyanya jangan pernah terjadi karena kedudukan sekolah pada jalur formal dan Bimbel pada jalur nonformal diatur untuk saling mengisi dan saling mendukung.

Ada beberapa solusi yang mungkin bisa dilakukan supaya opini masyarakat terhadap sekolah dan bimbel tidak keliru; pertama, Sekolah dan Lembaga Bimbingan Belajar bekerjasama terbatas pada hal-hal tertentu saja dan dibatasi oleh koridor-koridor yang jelas, sehingga bimbel tidak terlalu masuk ke sekolah dan sekolah tidak sepenuhnya mengandalkan bimbel; kedua, Pemerintah atau khususnya Diknas harus membuat aturan yang jelas tentang kompetensi tutor atau instruktur yang mengajar di bimbel sehingga guru bimbel dapat terstandar dan tidak ada anggapan bahwa guru bimbel lebih baik dari guru di sekolah, yang kenyataanya bimbel pun ada yang merekrut instrukturnya dari guru di sekolah; ketiga orangtua harus faham betul atas kemampuan anaknya bahwa kepeintaran anak tidak datang dengan tiba-tiba tetapi melalu proses yang panjang, bukan instan dengan diserahkan ke bimbel anak menjadi pintar, dan bimbel jangan dijadikan alasan karena orangtua tidak sanggup membimbing anak secara akademik di rumah.Dalam tulisan ini penulis bukan mau menghakimi mana yang salah atau yang benar hanya alangkah baiknya sekolah dan lembaga bimbel itu bersinergi dengan baik. Wallahu a’lam bisowab.

Wawan Romansah

Mahasiswa Program Pascasarjana UMS

Guru SD Islam Diponegoro Surakarta.

Tidak ada komentar: