Minggu, 24 Agustus 2008

HUBUNGAN SEKOLAH DENGAN KELUARGA

HUBUNGAN SEKOLAH DENGAN KELUARGA

DITINJAU SECARA SOSIOLOGIS

Oleh: wawan Romansah.S.Pd

A. Pendahuluan

Sosiologi berasal dari bahasa latin yang dari dua kata; Socius dan Logos. Secara harfiah atau etimologis kata socius berarti; teman, kawan, sahabat, sedangkan logos berarti ilmu pangetahuan. Jadi sosiologi berarti ilmu pengetahuan tentang bagaimana berteman, berkawan, bersahabat atau suatu ilmu yang membicarakan tentang bagaimana bergaul dengan masyarakat.

Secara operasional sosiologi adalah suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari masyarakat sebagai keseluruhan, yakni antar hubungan di antara manusia dengan manusia, manusia dengan kelompok, kelompok dengan kelompok, baik formal maupun material, baik statis maupun dinamis (Mayor Polak).

Keluarga dan sekolah merupakan lembaga atau institusi sosial yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan anak didik. Karena di keluarga dan sekolah terjadi interaksi antar individu atau kelompok dengan berbagai kepentingan. Maka dari itu sangat menarik untuk di kaji hubungan keluarga dan sekolah di tinjau secara sosiologi.

B. Rumusan Masalah

Untuk memfokuskan masalah dalam makalah ini maka diambil sebagai rumusan masalah adalah ” Bagaimana hubungan keluarga dengan sekolah ?”

C. Tujuan

Sesuai dengan fokus masalah di atas,maka tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memberi gambaran yang lebih jelas mengenai ” Hubungan keluarga dengan sekolah di tinjau secara sosiologis”.

D. Pembahasan

1. Konsep Keluarga

Keluarga adalah sekelompok orang yang dipersatukan oleh pertalian kekeluargaan, perkawinan atau adopsi yang disetujui secara sosial, yang umumnya secara bersama-sama menempati tempat tinggal dan saling berinteraksi sesuai dengan peranan-peranan sosial yang telah dirumusakan dengan baik.

Mengacu pada makna keluarga secara sosiokultural Indonesia pada khususnya, diketahui bahwa keluarga mempunyai fungsi-fungsi : (a) Sebagai persekutuan primer, yaitu hubungan antara anggota keluarga bersifat mendasar dan eklusif karena faktor ikatan biologis, ikatan hukum dan karena adanya kebersamaan dalam mempertahankan kehidupan; (b) sebagai pemberi afeksi(kasih sayang) atas dasar ikatan biologis atau ikatan hukum yang didorong oleh rasa kewajiban dan tanggung jawab; (c) sebagai lembaga pembentukan yang disebabkan faktor anutan keyakinan, agama, nilai budaya, nilai moral baik bersumber dari dalam keluarga maupun dari luar; (d) sebagai lembaga pemenuhan kebutuhan, baik yang bersifat material maupun spiritual; (e) sebagai lembaga partisipasi kelompok masyarakat, yaitu berinteraksi dalam berbagai aktivitas, baik dengan keluarga lain masyarakat banyak maupun dengan lingkungan alam sekitarnya.

Dalam keluarga terjadi interaksi antar anggota keluarga. Interaksi antara suami-isteri, ayah dengan anak, ibu dengan anak, bahkan antara keluarga dengan keluarga lain. Dalam interaksi itu akan terjadi proses belajar, pembinaan, pembimbingan, atau proses pendidikan.

Proses pendidikan anak dalam keluarga akan terjadi timbal balik, yaitu orang tua mendidik anaknya dan sebaliknya orang tua pun turut dikembangkan pribadinya dengan adanya anak. Begitu pula proses belajar berkeluarga antara suami dan isteri terjadi timbal balik. Pada kalangan manapun, lembaga keluarga banyak memberikan kontribusi pendidikan kepada anak-anak, terutama dalam pembentukan kepribadiannya. Lembaga keluarga menjadi agen sosialisasi dan agen pembentukan ketaqwaan kepadan Allah SWT. Keluarga sebagai awal mula terjadi pembelajaran tentang norma, kaidah, atau tata nilai dan keyakinan agama. Orang tua akan menjadi model atau panutan pertama yang akan di tiru oleh anaknya. Karena itu peranan keluarga menjadi dominan dalam proses pendidikan kepribadian dan watak bagi anak. Adapun kegiatan pendidikan dalam keluarga meliputi; keyakinan agama, nilai moral, dan nilai budaya.

Sedangakan menurut Oqbum fungsi keluarga itu adalah sebagai berikut :

  • Fungsi kasih sayang
  • Fungsi ekonomi
  • Fungsi pendidikan
  • Fungsi perlindungan/penjagaan
  • Fungsi rekreasi
  • Fungsi status keluarga
  • Fungsi agama

Keluarga itu terdiri dari pribadi-pribadi, tetapi merupakan bagian dari jaringan sosial yang lebih besar. Hanya melalui keluargalah masyarakat dapat memperoleh dukungan yang diperlukan dari pribadi-pribadi. Sebaliknya, keluarga hanya dapat terus bertahan jika di dukung oleh masyarakat yang lebih luas. Jika masyarakat itu sebagai suatu sistem kelompok sosial yang lebih besar mendukung keluarga, sebagai sub sistem sosial yang lebih kecil, atau sebagai syarat agar keluarga itu dapat bertahan maka kedua macam sistem itu harus saling berhubungan dalam banyak hal penting..

2. Konsep Sekolah

Sekolah merupakan suatu institusi sosial formal dan sengaja di bentuk yang mentransformasikan nilai-nilai dan norma yang berkembang dalam suatu masyarakat. Menurut Havighurst bahwa bentuk-bentuk sekolah dalam masyarakat itu pada umumnya ada 3 pendirian :

a) bentuk sekolah tradisional

Menurut pandangan ini maka sekolah itu harus lepas sama sekali dari masyarakat. Dengan demikian maka sekolah ini akan membatasi dan mengisolir diri dari masyarakat. Waktu-waktu dalam sekolah ini kebanyakan dibagi antara 3 r (reading, writing, arithmatic) atau 3m (membaca, menulis dan menghitung). Dan pelajaran-pelajaran itupun terpisah juga satu sama lain.

b) bentuk sekolah sebagai suatu modal dari masyarakat.

Maksudnya sekolah yang aktivitasnya terletak pada murid. Jadi murid beraktivitas terhadap sekolahnya. Di sini anak belajar supaya ia dapat hidup sebagai seorang manusia yang cakap dan baik dalam masyarakat.

c) bentuk sekolah masyarakat

Pada prinsipnya sekolah ini berhubungan sangat erat dengan masyarakat. Sekolah di sini sebagai pelaksanaan agar masyarakat menjadi baik, dan murid-murid dapat terlibat aktif dalam masyarakat, baik anak-anak maupun dewasa. Di sini masyarakat sebagai dasar dari pendidikan dan ada kecenderungan berpikir bahwa keseluruhan masyarakat adalah sebagai suatu educatif agent ( masyarakat sebagai pendidik).

3. Hubungan Keluarga dengan Sekolah

Keluarga sebagai satuan organisasi terkecil di masyarakat mendapat peranan sangat penting karena membentuk kepribadian dan watak anggota keluarganya. Sedangkan masyarakat terdiri dari keluarga-keluarga. Dari satuan terkecil itu terbentuklah gagasan untuk terus mewariskan standar watak dan kepribadian yang baik yang diakui oleh semua golongan masayarakat, salah satu institusi yang mewarisakan kepribadian dan watak kepada masayarakat adalah sekolah. Sekolah tidak akan terus berdiri jika tidak di dukung oleh masyarakat, maka dari itu kedua sistem sosial ini saling mendukung dan melengkapi. Jika di sekolah dapat terbentuk perubahan sosial yang baik berdasarkan nilai atau kaidah yang berlaku, maka masyarakat pun akan menaglami perubahan sosial.

Sebagai salah satu wujud sekolah sebagai bagian dari masyarakat maka terbentuklah sekolah masyarakat (community school). Sekolah ini bersifat life centered. Yang menjadi pokok pelajaran adalah kebutuhan manusia, masalah-masalah dan proses-proses social dengan tujuan untuk memperbaiki kehidupan dalam masyarakat. Masyarakat dipandang sebagai laboratorium dimana anak belajar, menyelidiki dan turut serta dalam usaha-usaha masyarakat yang mengandung unsur pendidikan. Adapun kriteria sekolah masyarakat (community school) dapat diringkas sebagai berikut:

a. Sekolah sebagai guru kehidupan masyarakat terhadap anak-anak:

Ø Sekolah mempunyai suatu pemerintahan sekolah dimana anak-anak belajar untuk memerintahkan mereka sendiri, dia mempunyai program yang bermacam-macam, dia mengijinkan semua anak untuk mendapat sesuatu yang konstruktif yang dapat mereka kerjakan secara sukses.

Ø Menggunakan sumber masyarakat lokal.

Ø Sekolah bekerja untuk memperbaiki masyarakat local.

Ø Sekolah cenderung untuk mengorganisasi kurikulum pada kelas-kelas yang mula-mula di sekitar masalah local dan isu local.

b. Sekolah sebagai pusat kehidupan kehidupan masyarakat dan tindakan untuk penduduk dari semua umur dan kelas:

Ø Membantu fasilitas-fasilitas fisik untuk belajar dan berekreasi.

Ø Sekolah mempunyai program pendidikan orang dewasa.

Ø Membawa para guru ke dalam kehidupan masyarakat sebagai rekan untuk menyelesaikan setiap masalah.

Sedangkan ciri-ciri sekolah masyarakat menurut Olsen ialah sebagai berikut:

a. Sekolah itu memperbaiki kehidupan setempat. Dengan adanya sekolah, maka orang dalam masyarakat menjadi manusia yang lebih baik, jasmani, emosional, sosial dan materiil.

b. Sekolah itu menggunakan masyarakat sebagai laboratorium untuk belajar. Disini sekolah tidak hanya terbatas antara empat dinding kelas, tetapi harus membuka pintu untuk mengadakan hubungan timbal balik dengan masyarakat.

c. Gedung sekolah menjadi pusat kegiatan masyarakat.

d. Sekolah membuat kurikulum berdasarkan proses-proses dan problema-problema dalam kehidupan masyarakat.

e. Sekolah mengikutsertakan orang tua dalam urusan-urusan sekolah.

f. Sekolah ikut serta mengkoordinasikan masyarakat. Untuk memperbaiki taraf kehidupan masyarakat, semua lembaga dalam masyarakat harus bekerja sama.

g. Sekolah dapat melaksanakan dan menyebarkan filsafat negara dalam segala hubungan antar manusia.

E. Kesimpulan

Sebagai salah satu lembaga yang ada di masayarakat keluarga tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat itu sendiri. Karena struktur masyarakat terbentuk dari kumpulan-kumpulan keluarga yang menjadi satu kesatuan. Sedangkan sekolah juga merupakan lembaga yang ada di masayarakat yang mempunyai fungsi sebagai transformasi budaya dan moral dalam kehidupan. Jika transaformasi budaya dan moral yang dilakukan sekolah berhasil, para siswa dapat membawanya ke lingkungan keluarga. Dengan demikian pada keluarga akan terjadi perubahan sosial ke arah yang positif demi melanggengkan tata kehidupan masyarakat. Dengan hubungan timbal balik yang baik dari keluarga dan sekolah maka akan membentuk suatu masyarakat yang kuat secara budaya, ekonomi, sosial dan agama.

F. DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, Abu, (2004) Sosiologi Pendidikan. Rineka Cipta: Jakarta.

Goode, William, J. (2007) Sosiologi Keluarga. Bumi Aksara

Dampak Televisi Terhadap AnaK

DAMPAK TELEVISI TERHADAP ANAK DI TINJAU DARI

TEORI PERUBAHAN SOSIAL

Oleh : Wawan Romansah,S.Pd

A. Pendahuluan

Pengertian Sosiologi pendidikan menurut Dictionary of sociology, Sosiologi Pendidikan ialah sosiologi yang diterapkan untuk memecahkan masalah-masalah pendidikan yang fundamental. Sedangkan menurut Prof. Dr. S. Nasution (1995) mengartikan Sosiologi pendidikan ialah ilmu yang berusaha untuk mengetahui cara-cara mengendalikan proses pendidikan untuk mengem-bangkan kepribadian individu agar lebih baik.

Di sepanjang kehidupannya, manusia melalui berbagai masa dan tahapan. Tidak diragukan lagi, tidak ada satupun masa yang lebih manis dan indah seperti masa yang dinikmati oleh anak-anak. Orang-orang dewasa senantiasa mengenang masa kecil mereka dengan penuh rasa suka cita dan mereka akan menceritakan peristiwa dan kenangan masa kecil itu dengan penuh semangat. Permainan, imajinasi, rasa ingin tahu, dan ketiadaan beban hidup, membuat masa kanak-kanak menjadi manis dan menarik buat semua orang. Namun, dewasa ini, para ahli psikologi dan sosial meyakini, era kanak-kanak di dunia sedang berhadapan dengan keruntuhan dan akan tinggal menjadi sejarah saja. Di masa yang akan datang, anak-anak di dunia tidak akan lagi menikmati masa kanak-kanak yang manis, yang seharusnya menjadi masa terpenting dalam membentuk kepribadian mereka.

Di antara berbagai media massa, televisi memainkan peran yang terbesar dalam menyajikan informasi yang tidak layak dan terlalu dini bagi bagi anak-anak. Menurut para pakar masalah media dan psikologi, di balik keunggulan yang dimilikinya, televisi berpotensi besar dalam meninggalkan dampak negatif di tengah berbagai lapisan masyarakat, khususnya anak-anak. Memang terdapat usaha untuk menggerakan para orangtua agar mengarahkan anak-anak mereka supaya menonton program atau acara yang dikhususkan untuk mereka saja, namun pada prakteknya, sedikit sekali orangtua yang memperhatikan ini.

Menurut sebuah penelitian yang telah dilakukan di Amerika, banyak sekali anak-anak yang menjadi pemirsa program-program televisi yang dikhususkan untuk orang dewasa. Anak-anak dihadapkan dengan pembunuhan, kekerasan, penculikan, penyanderaan, amoral dan asusila, keruntuhan moral, budaya dan sosial. Dampak dari problema ini adalah timbulnya kekacauan dan kerusakan pada kepribadian anak-anak dan akhirnya kepribadian kanak-kanak itu menjadi terhapus dan hilang sama sekali.

Neil Postman dalam bukunya “The Disappearance of Childhood” (Lenyapnya Masa Kanak-Kanak), menulis bahwa sejak tahun 1950, televisi di Amerika telah menyiarkan program-program yang seragam dan anak-anak, sama seperti anggota masyarakat lainnya, menjadi korban gelombang visual yang ditunjukkan televisi. Dengan menekankan bahwa televisi telah memusnahkan dinding pemisah antara dunia kanak-kanak dan dunia orang dewasa, Neil Postman menyebutkan tiga karakteristik televisi. Pertama, pesan media ini dapat sampai kepada pemirsanya tanpa memerlukan bimbingan atau petunjuk. Kedua, pesan itu sampai tanpa memerlukan pemikiran. Ketiga, televisi tidak memberikan pemisahan bagi para pemirsanya, artinya siapa saja dapat menyaksikan siaran televisi (http://www2.irib.ir/worldservice/melayuRADIO/keluarga/televisi_anak.htm)

Ketiga karakteristik televisi diatas ini akan berakibat baik bila pesan yang disampaikan adalah pesan-pesan yang baik dan bermoral. Sebaliknya, akan menjadi bahaya besar ketika televisi menyiarkan program-program yang bobrok dan amoral, seperti kekerasan dan kriminalitas. Sayangnya, justru dewasa ini film-film yang disiarkan televisi umumnya sarat dengan kekerasan dan kriminalitas. Para pemilik media ini demi menarik pemirsa sebanyak mungkin, berlomba-lomba menayangkan kekerasan dan amoralitas yang lebih banyak di layar televisi. Anak-anak yang masih suci dan tanpa dosa menjadi pihak yang paling cepat terpengaruh oleh tayangan televisi dan mereka menganggap bahwa apa yang disiarkan televisi adalah sebuah kebenaran.

Tidak ada keraguan lagi bahwa televisi memberikan dampak bagi kita semua terutama anak-anak. Semenjak ditemukannya Televisi, ia menjadi salah satu alat elektronik yang wajib ada disetiap rumah. Televisi tersebut semula diharapkan menjadi sebuah media yang memberikan banyak dampak positif, namun sekarang banyak orang juga mulai memikirkan dampak buruk yang mungkin timbul bagi seluruh lapisan masyarakat yang menontonnya.

Mengingat betapa kompleksnya dampak televisi terhadap anak, permasalahan ini sangat penting untuk dibahas, maka dari itu dalam makalah ini penulis memfokuskan permasalahan pada :

1. Bagaimana dampak negatif televisi terhadap anak-anak?

2. Bagaimana solusi untuk orang tua dalam menanggulangi dampak televisi terhadap anak-anak?

B. Pembahasan

1. Dampak negatif televisi terhadap anak-anak

Televisi merupakan produk dari kebudayaan modern sebagai pemenuhan kebutuhan hiburan bagi manusia, sedangkan kebudayaan menurut Abu Ahmadi (2004:58) adalah hasil dari cipta, karsa dan rasa. Jadi media televisi pada hakekatnya merupakan dari cipta kreatif para ilmuwan sebagai sarana pemenuhan kebutuhan manusia dalam kehidupan sehari-hari.

Kemudian kalau dilihat dari segi komunikasi massa televisi temasuk ke dalam saluaran (chanel) untuk menyampaikan pesan kepada khalayak supaya pesan diterima dengan baik. Ini diungkapkan oleh Lasswell dalam Wiryanto (2006:70) bahwa komunikasi massa terdiri dari unsur-unsur sumber (source), pesan (message), saluran (chanel), penerima (receiver) serta efek (effect). Karena merupakan media komunikasi massa maka tidak terelakan lagi televisi dapat dilihat dan ditonton oleh setiap orang dari berbagai tingkatan usia, mulai dari anak-anak, dewasa, sampai orangtua. Celakanya bagi anak-anak ternyata membawa dampak negatif yang lebih besar dari pada dampak positifnya.

Seorang ahli bernama Albert Bandura mengemukakan teorinya. Teori tersebut dikenal dengan nama Social Learning Theory, yang secara umum menjelaskan bahwa anak-anak akan dengan mudah meniru perilaku apa yang sering mereka tonton. Dia menyatakan bahwa anak-anak yang menonton kekerasan mempunyai peluang untuk meniruya.

Sedangkan dalam http://www.sulastowo.com/2008/04/11/dampak-negatif-televisi/ dikemukakan pada anak di bawah usia tiga tahun (batita), dampak negatif televisi justru lebih terasa. Terbukti tayangan televisi dapat menurunkan kemampuan membaca, membaca komprehensif, bahkan penurunan memori pada anak. Batita yang terlalu sering menonton televisi akan kehilangan kesempatan untuk mendapatkan stimulasi yang baik bagi proses tumbuh kembangnya. Sebab, televisi cuma menyodorkan stimulasi satu arah.

Dampak lain untuk anak yang sudah bisa membaca akan menurunkan motivasi untuk membaca. Motivasi menurut Sardiman (2007:192) adalah daya penggerak yang ada dalam diri seseorang untuk melakukan aktivitas-aktivitas tertentu demi tercapainya suatu tujuan. Dengan sering menonton televisi daya penggerak untuk membaca akan berkurang karena menonton TV tayangannya serba cepat dan melintas membuat anak terperangkap dengan penuh daya pikat sehingga mengalami kesulitan membedakan sikap yang positif maupun yang negatif. Berbeda dengan membaca anak-anak selalu tersedia waktu untuk proses merenung sehingga memungkinkan untu berpikir.

Secara kesehatan Televisi memancarkan sinar biru yang juga dihasilkan oleh matahari. Namun sinar biru ini berbeda dengan sinar ultra violet. Sinar biru tak membuat mata mengedip secara otomatis. Namun parahnya, sinar biru langsung masuk ke retina tanpa filter. Panjang gelombang cahaya yang dihasilkan adalah 400-500nm sehingga berpotensi memicu terbentuknya radikal bebas dan melukai fotokimia pada retina mata anak. Sepuluh tahun kemudian saat anak sudah dewasa, kerusakan yang ditimbulkan oleh sinar biru terlihat amat jelas. Retina mata tak lagi bening sehat seperti masa kanak-kanak sehingga kemampuan berfungsinya pun menjadi juga berkurang.

Penelitian lain pernah dilakukan Universitas Washington menemukan, membiasakan anak menonton TV sebelum berusia tiga tahun dapat merusak keterampilan baca mereka dan bentuk perkembangan kognitif lainnya ketika mereka akan mencapai usia enam tahun. Sainul Hermawan (Banjarmasin post, 3/8/ 2006).

Penelitian Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI) mengenai pengaruh TV terhadap perilaku keseharian anak menemukan bahwa ketika anak menonton TV cenderung melakukan kegiatan lain yaitu makan (35%), tidur-tiduran (28%) dan belajar (13%). Dalam keterkaitan antara TV dan belajar, penelitian ini menemukan anak yang tak tahan godaan TV mengaku malas belajar (80%) dan tidak suka membaca buku (66%). (Jahja dan Irvan, 2006: 5) dalam Sainul Hermawan Banjarmasin post, 3 Agustus 2006.

Selanjutnya dalam http://kelompokdiskusi.multiply.com/journal/item/784 menyatakan dampak televisi terhadap anak adalah sebagai berikut :

· Pada usia 0-3 th akan mengganggu perkembangan otak yang berdampak pada perkembangan bicara, kemampuan membaca verbal, maupun pemahaman

· Pada usia 5-10 th akan menghambat kemampuan dalam mengekspresikan pikiran melalui tulisan, meningkatkan agresifitas dan kekerasan serta tdk mampu membedakan antara realitas dan khayalan

· Membuat anak menjadi konsumtif

· Karena anak belum mempunyai daya kritis yang tinggi, besar kemungkinan terpengaruh oleh apa yang ditampilkan di televisi

· Anak akan berpikir bahwa semua orang dalam kelompok tertentu mempunyai sifat yang sama dengan orang di layar televisi. Hal ini akan mempengaruhi sikap mereka dan dapat terbawa hingga mereka dewasa.

· Bahasa televisi simpel, memikat dan membuat ketagihan sehingga sangat mungkin anak menjadi malas belajar.

· Terlalu sering nonton televisi dan tidak pernah membaca menyebabkan anak akan memiliki pola fikir sederhana, kurang kritis, linier atau searah dan pada akhirnya akan mempengaruhi imajinasi, intelektualitas, dan perkembangan kognitifnya.

Dengan banyaknya dampak negatif televisi terhadap anak-anak secara sosiologis dapat ditinjau dengan teori perubahan sosial yang berdampak negatif negatif yaitu memudarnya norma-norma dan nilai-nilai pada anak-anak sehingga anak tidak bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.

Menurut Soerjono Sukamto (1995) perubahan sosial (social chnge) adalah ”Perubahan pada lembaga sosial dalam masyarakat yang mempengaruhi sistem sosial, nilai, sikap, dan pola perilaku individu serta kelompoknya”. Maka perubahan perilaku anak-anak setelah menonton televisi pun dapat mempengaruhi secara lembaga yaitu keluarga. Dalam keluarga setiap orang terikat dalam jaringan kewajiban dan hak yang disebut hubungan peran atau role relation (William J. Goode 2007: 1) sehingga dampak negatif televisi akan menggangu hubungan peran anak dengan orangtua karena ada nilai kesopanan yang berubah.

Perubahan sosial dalam masyarakat dapat terjadi melalui proses pengenalan unsur-unsur baru. Pengenalan unsur baru di masyarakat dapat berbentuk suatu inovasi. Sedangkan media Televisi merupakan inovasi teknologi pada zaman modern. Adapun karakter inovasi menurut Eko. S (2004:3)adalah Trialabilitas, Kompleksitas, Keunggulan relatif, dan kompatibel.

2. Solusi orangtua dalammenanggulangi dampak negatif terhadap anak-anak

Untuk mendapatkan manfaat yang besar dari TV dan terhindar dari bahaya yang bisa ditimbulkannya, keluarga Indonesia perlu mengontrol anaknya. Dengan cara antara lain: Pertama, membangun komitmen bersama untuk menentukan jam atau hari bebas TV dalam keluarga sehingga anak menghargai makna waktu dalam keluarga: waktu sholat, belajar, makan, bercengkerama tanpa intervensi TV. TV tak menghantui aktivitas penting dalam keluarga. Tanamkan kedisiplinan untuk menyikapi TV seperti menyikapi kegiatan hidup lain yang selalu punya awal dan akhir. Kedua, kontrol terhadap TV dapat disiasati dengan menempatkannya tidak di tempat sentral. Tapi di sudut atau pojok rumah yang bisa mengurangi selera untuk menyalakannya. Ketiga, acara yang menambah wawasan ilmu pengetahuan, agama, politik, dan budaya perlu menjadi agenda bersama dalam keluarga. Terakhir, sepakati acara TV apa saja yang perlu dijadikan musuh bersama. Jadi, jangan posisikan keluarga kita sebagai tempat sampah bagi acara TV yang dibuat tanpa pertimbangan estetika, etika dan logika. Jangan biarkan rohani anak kita lelah dibiusnya.

Adapun beberapa solusi yang bisa dilakukan oleh para orantua untuk membendung pengaruh televisi adalah sebagai berikut :

a. Beri batasan waktu untuk menonton televisi. Kapan ia boleh dan kapan waktunya ia harus berhenti menonton televisi. Untuk anak prasekolah, kondisi tersebut mungkin agak sulit karena pada usia tersebut anak sudah mulai bisa membantah. Cobalah membuat kesepakatan bersama mengenai batasan-batasannya. Misalnya jenis tayangan yang ia inginkan dan lamanya waktu menonton. Untuk batita, tetapkan batasan waktunya, yaitu cukup satu jam sehari. Sedangkan untuk usia prasekolah boleh menonton televisi kurang dari dua jam sehari.

b. Manfaatkan waktu yang sedikit tersebut sekaligus sebagai sarana belajar anak. Duduklah bersama anak dan diskusikan isi tayangan pilihannya. Siapkan kegiatan alternatif pengganti agar anak tidak lagi merengek dan kembali menonton televisi.

c. Tanamkan nilai-nilai keluarga secara berulang agar anak mengerti apa yang boleh dan tidak boleh dilakukannya sehingga anak lebih percaya diri menghadapi teman-temannya.

d. Usahakan TV hanya menjadi bagian kecil dari keseimbangan hidup anak. Yang penting, anak-anak perlu punya cukup waktu untuk bermain bersama teman-teman dan mainannya, untuk membaca cerita dan istirahat, berjalan-jalan dan menikmati makan bersama keluarga. Sebenarnya, umumnya anak-anak senang belajar dengan melakukan berbagai hal, baik sendiri maupun bersama orang tuanya.

e. Mengikutsertakan anak dalam membuat batasan. Tetapkan apa, kapan, dan seberapa banyak acara TV yang ditonton. Tujuannya, agar anak menjadikan kegiatan menonton TV hanya sebagai pilihan, bukan kebiasaan, ia menonton jika perlu saja. Hal ini akan mengajarkan pada anak bahwa mereka harus memilih (acara yang paling digemari),menghargai waktu dan pilihan,

Masalah jenis program yang ditonton sangat penting dipertimbangkan sebab itu menyangkut masalah kekerasan, adegan seks, dan bahasa kotor yang kerap muncul dalam suatu acara. Kadang ada acara yang bagus karena memberi pesan tertentu, tetapi di dalamnya ada bahasa yang kurang sopan, atau adegan - seperti pacaran, rayuan - yang kurang cocok untuk anak-anak. Maka sebaiknya orang tua tahu isi acara yang akan ditonton anak. Usia anak dan kedewasaan mereka harus jadi pertimbangan. Dalam hal seks, orang tua sebaiknya bisa memberi penjelasan sesuai usia, kalau ketika sedang menonton dengan anak-anak tiba-tiba nyelonong adegan yang menjurus kepada pornografi atau “saru”.
Masalah bahasa pun perlu diperhatikan agar anak tahu mengapa suatu kata kurang sopan untuk ditiru. Orang tua bisa menjelaskannya sebagai ungkapan untuk keadaan khusus, terutama di TV untuk mencapai efek tertentu. Dua jam sudah cukup Kapan dan berapa lama anak boleh menonton TV, semua itu tergantung pada cara sebuah keluarga menghabiskan waktu mereka bersama, Bisa saja di waktu santai sehabis makan malam bersama, atau justru sore hari.

C. Kesimpulan

Dari permasalahan di atas maka dapat disimpulkan sebagai berikut ;

1. Dampak negatif televisi terhadap anak-anak adalah

  • Anak di bawah 3 tahun akan akan mengganggu perkembangan otak yang berdampak pada perkembangan bicara, kemampuan membaca verbal, maupun pemahaman.
  • Pada usia 5-10 th akan menghambat kemampuan dalam mengekspresikan pikiran melalui tulisan, meningkatkan agresifitas dan kekerasan serta tdk mampu membedakan antara realitas dan khayalan.
  • Sinar biru televisi akan merusak jaringan retina anak karena cahaya masuk tanpa filter.
  • Bahasa televisi simpel, memikat dan membuat ketagihan sehingga sangat mungkin anak menjadi malas belajar.
  • Menurunkan minat atau motivasi membaca anak.
  • Terlalu sering nonton televisi dan tidak pernah membaca menyebabkan anak akan memiliki pola fikir sederhana, kurang kritis, linier atau searah dan pada akhirnya akan mempengaruhi imajinasi, intelektualitas, dan perkembangan kognitifnya.
  • Membuat anak menjadi konsumtif karena tayangan iklan yang menwarkan berbagai macam produk.

2. Solusi orangtua dalam menggulangi dampak negatif televisi terhadap anak-anak adalah

· membangun komitmen bersama untuk menentukan jam atau hari bebas TV dalam keluarga sehingga anak menghargai makna waktu dalam keluarga.

· kontrol terhadap TV dapat disiasati dengan menempatkannya tidak di tempat sentral. Tapi di sudut atau pojok rumah yang bisa mengurangi selera untuk menyalakannya.

· Pilih acara yang mengandung pendidkan untuk ditonton dengan keluarga.

· Tanamkan nilai-nilai keluarga secara berulang agar anak mengerti apa yang boleh dan tidak boleh dilakukannya sehingga anak lebih percaya diri menghadapi teman-temannya.

· Usahakan TV hanya menjadi bagian kecil dari keseimbangan hidup anak.

· Beri batasan waktu untuk menonton televisi

· Mengikutsertakan anak dalam membuat batasan. Tetapkan apa, kapan, dan seberapa banyak acara TV yang ditonton.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, Abu.(2004). Sosiologi Pendidikan. Jakarta. Rineka Cipta.

Goode, J. William.(2007). Sosiologi Keluarga. Jakarta, Bumi Aksara.

Nasution, S. 1995. Sosiologi Pendidikan. Jakarta, Bumi Aksara.

Sardiman. 2007. Interaksi&Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta. PT Raja Garafindo Persada.

Soekanto, Sarjono. (1995). Sosiologi: Suatu Pengantar, Jakarta. PT Raja Garafindo Persada.

Supriyanto, Eko. Dkk. (2004). Inovasi Pendidikan Isu-Isu Baru Pembelajaran, Manajemen Dan Sistem Pendidikan Di Indonesia, Surakarta. Muhammadiyah University Press.

Wiryanto. (2006). Pengantar Ilmu Komunikasi, Jakarta. Grasindo.

http://www.sulastowo.com/2008/04/11/dampak-negatif-televisi/ diakses Jam 10.30 WIB tanggal 13 April 2008

http://kelompokdiskusi.multiply.com/journal/item/784 diakses Jam 10.35 WIB Tanggal 13 April 2008

Sainul Hermawan Banjarmasin post, 3/8/ 2006.

Sekolah VS Bimbel

Sekolah VS Bimbel

Sekolah sebagai institusi pendidikan formal diharapkan dapat mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk manusia Indonesia yang berkualitas. Salah satu upaya untuk mewujudkan itu maka pemerintah pada tahun ajaran 2007/2008 mengeluarakan kebijakan bahwa SD melaksanakan Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasioanl (UASBN) pada mata pelajaran Matematika, Bahasa Indonesia dan IPA, dengan kriteria nilai kelulusan diserahkan kepada sekolah masing-masing. Sontak saja kebijakan ini menimbulkan pro dan kontra, sedangkan bagi sebagian sekolah kebijakan UASBN muncul bagai orang kebakaran jenggot, karena selama ini SD dalam posisi tenang-tenang saja dalam menghadapi kelulusan siswanya. Hal ini disebabkan nilai kelulusan SD masih menggunakan rumus yang menggabungkan nilai raport dengan nilai ujian akhir serta dapat menguntukan anak dari segi nilai walau dalam segi kualitas belum tentu. Akibatnya katrol mengatrol nilai pada kelulusan SD di beberapa tahun ke belakang sangat mungkin terjadi.

Alih-alih meningkatkan kualitas malah yang terjadi sekolah berusaha bagaimana sisiwanya lulus dengan 100% dengan berbagai cara, seakan aib jika ada siswanya yang tidak lulus UASBN. Maka ada beberapa upaya yang dilakukan sekolah mulai dari membuat standar kelulusan yang rendah bagi siswa, walaupun bagai menelan buah simalakama, meluluskan semua siswa dengan kriteria kelulusan rendah akan membawa dampak negatif bahwa sekolah dipandang masyarakat tidak berkualitas, menambah jam efektif mata pelajaran yang diujikan pada UASBN dan mengurangi jam pelajaran yang dianggap tidak penting semisal kesenian dan olahraga, sampai yang umum dilakukan sekolah mengadakan Les tambahan di luar jam pelajaran men drill siswa dengan berbagai bentuk soal sampai sore bahkan ada sekolah yang mengadakan les sampai malam, saking ingin mencapai nilai tertinggi.

Pada satu sisi dengan adanya UASBN memacu semangat guru untuk meningkatkan kulitas keilmuannya, terus belajar dengan hal yang baru, mengimplementasikan metode-metode mengajar yang bervariasi demi meningkatkan kualitas anak didiknya. Pada sisi lain ada guru dan pihak sekolah mengambil jalan pintas dengan berbagai alasan menghadirkan bimbel atau guru bimbel ke sekolah seakan mereka tidak percaya diri atas kemampuan mengajar mereka.

Kekhawatiran sekolah khususnya di tingkat Sekolah Dasar (SD) yang baru akan menyelenggarakan Ujian Akhir sekolah berstandar nasional (UASBN) peluangnya ditangkap dengan cerdas oleh temn-teman di Bimbingan Belajar (Bimbel). Mereka pun serentak menawarkan program promosi yang sangat menarik, dengan berbagai paket pembelajaran dari yang intensif sampai privat satu guru melayani satu siswa yang mungkin tidak didapatkan di sekolah, tentunya dengan biaya yang cukup tinggi, loby-loby ke kepala sekolah sampai ke dinas pendidikan pun mereka lakukan, atau dengan paket kerja sama Try Out soal Ujian memakai soal dari bimbel, karena kelemahan sebagian guru yang memang belum terbiasa membuat soal ujian, yang pada saat ini untuk di tingkat SD di kota Surakarta soal-soal Ulangan Tengah Semester dan Ulangan Semester masih di drop dari Cabang Dinas Kecamatan masing-masing.

Dari segi orangtua yang khawatir dengan ketidaklulusan anaknya pun bimbel mendapat peluang yang terbuka untuk menawarkan jasanya. Lagi-lagi kekuatan promosi dapat merayu orang tua untuk memasukan anaknya ke bimbel, dan orang tua dengan rela membayar mahal demi nilai yang dicapai anaknya, atau mungkin orang tua sudah semakin luntur kepercayaannya pada sekolah, atau memang sekolah yang kurang berkomunikasi mengenai program menghadapi Ujian yang pasti semua sekolah mempersiapkannya.

Dari masalah diatas akhirnya setiap sekolah mengambil kebijakan masing-masing diantaranya ada yang ekstrim sekolah tidak bekerjasama dengan lembaga bimbel, sekolah bekerja sama penuh dengan bimbel dengan menarik guru bimbel ke sekolah pada les tambahan atau sekolah hanya bekerjasama dengan bimbel pada pemeriksaan komputerisasi Try Out saja.

Sinergi

Dalam Undang-Undang No 20 tahun 2003 Tentang SISDIKNAS pasal 26 berbunyi ”Pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan / atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat”. Sejalan dengan bunyi UU diatas maka penulis mengkategorikan Bimbel sebagai pendidikan nonformal yang diselenggarakan masyarakat. Pada hakekatnya sekolah dan bimbel seharusnya seiring sejalan, saling melengkapi dan tidak saling memojokan. Tetapi opini yang muncul di masyarakat seolah-olah guru bimbel lebih mumpuni di banding guru di sekolah, jaminan nilai yang baik jika anak dimasukan pada lembaga Bimbel. Hal di atas seyogyanya jangan pernah terjadi karena kedudukan sekolah pada jalur formal dan Bimbel pada jalur nonformal diatur untuk saling mengisi dan saling mendukung.

Ada beberapa solusi yang mungkin bisa dilakukan supaya opini masyarakat terhadap sekolah dan bimbel tidak keliru; pertama, Sekolah dan Lembaga Bimbingan Belajar bekerjasama terbatas pada hal-hal tertentu saja dan dibatasi oleh koridor-koridor yang jelas, sehingga bimbel tidak terlalu masuk ke sekolah dan sekolah tidak sepenuhnya mengandalkan bimbel; kedua, Pemerintah atau khususnya Diknas harus membuat aturan yang jelas tentang kompetensi tutor atau instruktur yang mengajar di bimbel sehingga guru bimbel dapat terstandar dan tidak ada anggapan bahwa guru bimbel lebih baik dari guru di sekolah, yang kenyataanya bimbel pun ada yang merekrut instrukturnya dari guru di sekolah; ketiga orangtua harus faham betul atas kemampuan anaknya bahwa kepeintaran anak tidak datang dengan tiba-tiba tetapi melalu proses yang panjang, bukan instan dengan diserahkan ke bimbel anak menjadi pintar, dan bimbel jangan dijadikan alasan karena orangtua tidak sanggup membimbing anak secara akademik di rumah.Dalam tulisan ini penulis bukan mau menghakimi mana yang salah atau yang benar hanya alangkah baiknya sekolah dan lembaga bimbel itu bersinergi dengan baik. Wallahu a’lam bisowab.

Wawan Romansah

Mahasiswa Program Pascasarjana UMS

Guru SD Islam Diponegoro Surakarta.